Mendapat Beragam Tanggapan juga Penolakan dari Berbagai Pihak Terkait Mengenai RUU MK dan RUU Penyiaran, Ketua DPR RI Puan Maharani akan Mengawal Pembahasan RUU Tersebut
JAKARTA - Dalam keterangannya, Ketua DPR RI, Puan Maharani menyampaikan bahwa, Revisi Undang-undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi (MK) masih belum dimasukkan ke Rapat Paripurna, dikarenakan DPR masih menginginkan mendengar terlebih dahulu masukan dari masyarakat. Hal ini disampaikan Ketua DPR RI, Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Jakarta pada, (4/6/2024).
"Nantinya kita dengarkan dulu di lapangan seperti apa, pastinya saya akan lihat dulu," ujar Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Lanjutnya, Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan bahwa, nantinya akan mendengarkan terlebih dahulu masukan dari seluruh pemangku kepentingan dan para pihak lainnya. Sebelum memasukkan RUU MK tersebut pada Rapat Paripurna untuk dibahas ke tingkat selanjutnya.
Dikatakannya, "Buat apa Undang-undang itu terburu-buru kalau nantinya nggak akan bermanfaat," ucap Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Pada sebelumnya, Fraksi PDI Perjuangan DPR RI berkomunikasi dengan Fraksi Parpol lainnya untuk menolak Revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi tersebut, guna mencegah pasal-pasal yang diselundupkan.
Dalam hal ini, anggota dari Fraksi PDI Perjuangan DPR RI yakni, Djarot Saiful Hidayat menuturkan bahwa, nantinya pasal-pasal yang akan ditolak itu yang melemahkan MK, hingga kini Revisi Undang-undang tersebut masih dalam tahap pembahasan. Hal demikian disampaikannya kepada media di Kompleks Parlemen, Jakarta.
"Karena penjaga konstitusi betul-betul harus independen, harus kredibel dan juga harus mandiri," katanya.
Kemudian, ia juga mengatakan bahwasanya, MK merupakan lembaga yang sangat strategis dan penting sebagai penjaga konstitusi. Sehingga lembaga tersebut harus betul-betul dijaga.
Ditambahkannya, berkomunikasi dengan fraksi lainnya sangat perlu dilakukan. Dikarenakan PDIP nggak mungkin bisa bekerja sendiri dalam penolakan RUU tersebut.
Nantinya, pasal-pasal yang akan ditolak itu diantaranya, yang berpotensi untuk menghambat atau merintangi Hakim MK supaya nggak tegas dan berani dalam memutuskan suatu perkara.
Selain itu, Djarot Saiful Hidayat yang merupakan anggota dari Fraksi PDI Perjuangan ini pun menilai, pasal-pasal di dalam RUU tersebut akan menurunkan derajat kemandirian MK dalam menjaga konstitusi.
Kemudian, pada kesempatan yang berbeda, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri juga merespon serta menanggapi mengenai adanya Revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi maupun juga Revisi Undang-undang Penyiaran tersebut, yang disampaikannya pada pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP di Jakarta.
Menurut Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri menyampaikan bahwa, prosedur Revisi Undang-undang MK nggak benar karena terkesan tiba-tiba. "Lakh bayangkan, pakai Revisi Undang-undang MK, yang menurut saya prosedurnya saja nggak benar, karena disaat masa reses," kata Ketua Umum DPP PDI Perjuangan ini.
Ketua Umum DPP PDIP ini mengaku bingung dengan Revisi Undang-undang MK yang tiba-tiba tersebut. Lalu, ia pun sempat bertanya kepada Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI yang merupakan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto. "Saya sendiri sampai bertanya ke Pak Utut. Nakh, saya tanya beliau, ini apaan sih? Mbak Puan lagi pergi yang saya bilang ke Meksiko, kok enak amat ya," ucapnya.
Kemudian, Ketua Umum DPP PDIP juga menyinggung mengenai Revisi Undang-undang Penyiaran yang dinilainya melanggar esensi produk jurnalisme investigasi. "Lokh, untuk apa ada media? Mangkanya saya selalu mengatakan, Hei, kamu itu ada Dewan Pers, lokh. Lalu, harus mengikuti yang namanya kode etik jurnalistik. Lakh, kok nggak boleh ya, kalau ada investigasinya? Lokh, itu kan artinya pers itu apa sih. Menurut saya, dia benar-benar turun ke bawah, lokh," tuturnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua DPR RI, Puan Maharani pun turut menanggapi respon yang disampaikan oleh Ketua Umum DPP PDIP tersebut pada kegiatan Rakernas PDIP di Jakarta mengatakan bahwa, semua hal yang terjadi di DPR sudah atas sepengetahuan dirinya. Termasuk perihal Revisi Undang-undang tersebut.
"Jadi, memang semua hal yang terjadi di DPR itu tentu saja sudah sepengetahuan saya untuk bisa dilakukan di DPR. Jadi, hal-hal tersebut memang sudah dibicarakan melalui fraksi-fraksi yang ada di DPR, itu salah satu tugas untuk saling mengawal, saling mengkoordinasikan dan dibicarakan bersama di DPR," katanya.
Lanjut Ketua DPR RI, Puan Maharani menyampaikan bahwa, Revisi Undang-undang Penyiaran sudah atas sepengetahuan dirinya. Proses saling mengawasi dan juga koordinasi tetap berlangsung.
Ketua DPR RI, Puan Maharani menegaskan bahwa, Fraksi PDIP DPR RI akan mengawal pembahasan Revisi Undang-undang tersebut.
"Ya, kita akan ikut mengawalnya dan membahas hal tersebut," ujarnya.
Adapun pihak terkait lainnya yang memberikan tanggapannya, yakni datang dari Dewan Pers yang sangat merespon perihal dengan adanya Revisi Undang-undang Penyiaran tersebut, yang sebagaimana dengan ini mengambil sikap menolak terhadap proses RUU Penyiaran yang dinilainya dapat menghilangkan hak kebebasan pers. Demikian hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, di Jakarta.
Dalam hal ini, Dewan Pers menolak proses RUU yang sedang bergulir di Baleg (Badan Legislasi DPR RI) lantaran dianggap dapat menghilangkan hak kebebasan pers. "RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita nggak merdeka, juga nggak independen, dan nggak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," katanya.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyampaikan bahwa, ada beberapa unsur yang menyebabkan Revisi Undang-undang tersebut menghambat kebebasan pers, khususnya dalam dunia penyiaran.
Lanjutnya, yang pertama, RUU ini dapat menghambat insan pers Indonesia untuk melahirkan karya jurnalistik terbaiknya lantaran adanya larangan membuat liputan yang bersifat investigatif.
"Adanya pasal yang memberikan larangan terhadap media investigatif, hal ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada pada UU Nomor 40 Tahun 1999 pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 ini nggak lagi mengenal penyensoran," ucap Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers.
Selanjutnya, yang kedua itu dikatakannya, dalam penyusunan RUU ini dinilai nggak melalui prosedur yang layak, karena nggak melibatkan masyarakat untuk memberikan pendapat. Bahkan Dewan Pers merasa nggak dilibatkan dalam pembentukan RUU ini.
Kemudian, hal yang ketiga, RUU ini membuat Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang berurusan dengan pelanggaran pers dibidang penyiaran.
Menurutnya, hal demikian tersebut membuat kesan tumpang tindih kewenangan. Lantaran seharusnya Dewan Pers lah yang berkewenangan dalam menyelesaikan sengketa pers. "Karena mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers, dan itu dituangkan dalam UU. Oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga bahwa, ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi, agar antara satu UU dengan yang lain nggak tumpang tindih," kata Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menambahkan, jika RUU Penyiaran ini terus bergulir dan akhirnya disahkan legislatif. Dalam sudut pandangnya melihat, ada potensi media di Indonesia nggak akan lagi kredibel dan independen dalam mengawal sebuah isu. Karenanya Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers dan juga seluruh jajaran Persatuan Wartawan yang mewakili setiap platform, menolak keras bergulirnya RUU Penyiaran tersebut.
Perlu diketahui juga, adapun rancangan Undang-undang yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR RI yaitu Rancangan Undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang telah disahkan menjadi Undang-undang, yang nantinya akan mengatur fase seribu hari pertama kehidupan, diantaranya itu hak dan kewajiban, tugas dan wewenang penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak juga data dan informasi, pendanaan serta partisipasi masyarakat, pada Rapat Paripurna ke-19 DPR masa persidangan V, Tahun sidang 2023-2024 di Jakarta. (Red)
0 Komen