Para Akademisi dan Pemikir Kebangsaan Berharap, Menegakkan Hukum dengan Seadil-adilnya agar Tidak Terjadi Diskriminasi yang Menimpa Warga Negara Terutama bagi Mereka yang Kritis
JAKARTA - Para Akademisi dan Pemikir Kebangsaan mengadakan kegiatan acara Diskusi Publik, yang sebagaimana dengan memberikan perhatian maupun kepeduliannya terhadap kondisi hukum saat ini, itu semua tidak terlepas untuk menjaga penegakan hukum yang berkeadilan juga konstitusional Bangsa Indonesia yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun tema utama yang dibahas dalam acara Diskusi Publik tersebut yakni bertemakan, "Hukum Sebagai Senjata Politik". Acara tersebut diselenggarakan oleh NMS (Nurcholish Madjid Society) di Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Beberapa narasumber yang hadir dalam Diskusi Publik tersebut diantaranya yakni, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Prof. Sulistyowati Irianto - Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno (Romo Magnis) - Pemikir Kebhinekaan, Sukidi, Ph.D dan Moderator, Fachrurozi Majid. Adapun pada acara tersebut yaitu istri dari mendiang Cendikiawan Muslim, Nurcholish Madjid yakni Omi Komaria Madjid juga turut jadi pembicara dalam acara Diskusi.
Para Akademisi dan Pemikir Kebangsaan berharap, rezim menegakkan hukum dengan seadil-adilnya agar tidak terjadi diskriminasi yang menimpa warga negara, terutama bagi mereka yang kritis.
Sukidi yang merupakan seorang pemikir Kebhinekaan ini mengatakan, dalam praktiknya. Demokrasi harus diselamatkan dari populisme otoriter. Hal serupa pun terjadi pada konstitusi. Menurutnya, konstitusi harus diselamatkan dari permainan kasar.
"Karena Demokrasi harus dirawat, harus diselamatkan dari bahaya populisme otoriter. Begitu juga konstitusi, harus diselamatkan dari praktik permainan kasar konstitusional," katanya.
Lanjutnya, "Karena itu, ketika reformasi ingin diputar balik ke arah otoritarianisme, yang dalam tradisi politik disebut sebagai the authoritarian turn, dan itulah yang terjadi pada kita hari-hari ini," terang Sukidi.
Maka atas hal tersebut, Sukidi pun menilai, sikap netral dan diam-diam namun bergerak merusak demokrasi menjadi simbol pengkhianatan dari cita-cita reformasi.
"Sikap netral, sikap diam maupun sikap sembunyi adalah bagian dari pengkhianatan terhadap cita-cita pendiri bangsa, dan juga cita-cita reformasi," jelas Sukidi.
Ditambahkannya, "Secara umum, saya melihat bahwa, penegakan hukum saat ini dilakukan dengan cara selektif. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh dua profesor Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt sebagai selective enforcement," ujar Sukidi, Pemikir Kebhinekaan saat Diskusi.
Mengutip hal yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt tersebut, Sukidi pun menuturkan, bahwa penegakan hukum selektif dapat dilihat ketika hukum ditegakkan dengan tebang pilih. Yang mana hukum menarget mereka yang menjadi rival politik atau musuh politik. Namun, kepada sahabat, teman atau koalisi politik, hukum bisa tidak ditegakkan.
Jadi, penegakan hukum yang selektif itulah yang kemudian menjadi akar kerusakan demokrasi di Indonesia.
"Oleh karena itu, kami mengimbau kepada pemimpin untuk menegakkan hukum seadil-adilnya, agar tidak terjadi yang namanya ketidakadilan, dan juga tidak terjadi diskriminasi yang menimpa warga negara sendiri," tutur Sukidi.
Kaum Intelektual dan Akademisi Kampus Adalah Para Penjaga Demokrasi
Kemudian, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto mengatakan, bahwa kaum intelektual dan akademisi kampus adalah para penjaga demokrasi. Di saat situasi penegakan hukum dan negara sedang tidak baik-baik saja, suara-suara mereka justru senyap dan tak terdengar.
"Kemana para akademisi Indonesia di kampus? Pertanyaan itu sangat relevan. Karena Indonesia itu diperjuangkan, dijaga, dimerdekakan dirawat oleh kaum intelektual para pendiri bangsa negara kita," katanya.
Ia pun menuturkan, bahwasanya kaum intelektual tidak memerlukan ijazah doktor atau pun gelar profesor. Kaum intelektual itu adalah orang-orang yang tahu akan sejarah Indonesia. "Mengapa penting membahas atau membicarakan intelektual, karena banyak gerakan masyarakat sipil yang selalu menyelamatkan Indonesia. Dari banyaknya buku yang saya baca dari berbagai persoalan berat," jelasnya.
Namun menurutnya, sejarah Indonesia tidak mencatat secara memadai di dalam masyarakat sipil intelektual. Di dalam pergerakan masyarakat sipil itu, terdapat gerakan perempuan juga. "Jadi, sejarah di Indonesia kurang separuh ditulisnya. Betapa celakanya suatu bangsa, jika anak mudanya tidak mengetahui tentang sejarah," katanya.
Lanjutnya, ia pun juga mempertanyakan? Apakah hal itu terjadi karena adanya kekerasan psikis yang diam-diam dilakukan oleh penguasa. Ia berharap, civitas akademika kampus bersifat otonom karena mereka juga memiliki kebebasan akademik.
"Sebelum reformasi 1998, yang dilakukan negara terhadap masyarakat sipil adalah kekerasan fisik. Namun, saya melihat yang sekarang terjadi adalah kekerasan psikis, karena diam-diam otoritas menggunakan hukum untuk kepentingan elite penguasa. Baik itu di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi," kata Sulistyowati.
Padahal seharusnya, hukum diciptakan untuk menjaga keadilan. Namun, saat ini hukum justru diciptakan untuk mendefinisikan kepentingan kekuasaan. Ia pun khawatir, Indonesia benar-benar beralih dari negara hukum yang demokratis kepada negara kekuasaan.
"Salah satu yang bisa mengontrol kekuasaan itu adalah pengadilan yang independen. Lalu, rakyat mau berlindung kemana, kalau MK dan MA juga dikooptasi?" terang Sulistyowati.
Selain itu, Sulistyowati juga menyoroti kinerja Dewan Perwakilan Rakyat yang banyak merevisi Undang-undang tanpa adanya urgensi yang jelas. Misalnya saja yang diketahui bersama adanya revisi UU Penyiaran, UU TNI juga Polri.
Sulistyowati pun juga menerangkan, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang dalam keputusannya kerap menuai kontroversi. Ia pun menjelaskan, para hakim meletakkan eksistensi hukum hanya dari teks-teks, per pasal-pasal dan dilepaskan dari subtansinya. Mereka kurang memperhatikan dampak dan keadilan dari hukum itu sendiri.
Kepada Masyarakat Sipil Agar Tidak Begitu Saja Menyerahkan Kebebasan Demokrasi Yang Masih Ada Sampai Sekarang
Adapun selain itu, narasumber pembicara lainnya yaitu Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara yakni Franz Magnis-Suseno (yang lebih kita kenal yaitu Romo Magnis) yang mana mencermati penegakan hukum saat ini, memang ada tendensi tebang pilih. Sebab, mereka yang tidak bersahabat dengan pemerintah akan cepat-cepat diperiksa apabila memiliki kasus hukum. Adapun mereka yang menjadi kawan atau koalisi politik seolah tidak terjadi apa-apa.
"Saya tidak bisa menilai apa ini betul, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sudah agak lama dikebiri dan tidak sepenuhnya menjalankan apa yang pernah dijalankan, dan masih saya harapkan dari padanya," kata Romo Magnis.
Romo Magnis pun mengimbau kepada masyarakat sipil, agar tidak begitu saja menyerahkan kebebasan demokrasi yang masih ada sampai sekarang. Walaupun ada situasi keterbatasan dimana-mana, seperti orang yang kritis dikriminalisasi dan dibawa ke pengadilan. Ia berpesan betul kepada masyarakat sipil, agar tidak sepenuhnya menyerahkan kebebasan tersebut. Romo Magnis kembali mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak perlu khawatir untuk bersikap kritis. Menurutnya, kebebasan itu telah diatur dalam negara yang menerapkan sistem demokratis ini.
"Saya kira penting sekali, kita jangan menyerahkan demokratis yang sampai saat ini masih ada. Kami masih bisa mengatakan sesuatu ada keterbatasan, meskipun kemungkinan juga ditarik ke pengadilan dan sebagainya," katanya.
Romo Magnis juga mengajak para kalangan akademisi untuk tidak diam, dan ikut mengkritisi penguasa apabila ada cara-cara yang tak sesuai dijalankan.
Adapun selain itu, Romo Magnis juga menuturkan mengenai reformasi Indonesia pada tahun 1998 sesuatu yang luar biasa. Hal ini dinilai karena reformasi berhasil menyatukan keragaman yang ada kala itu. Namun, ia menilai bahwa, meskipun reformasi telah dilakukan. Indonesia masih gagal dalam memberantas yang namanya itu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada badan pemerintahan.
"Melalui masa gelap, segala macam masalah, kita berhasil mengatasinya. Namun yang tidak berhasil itu kita membuat nyata tuntutan Mahasiswa perihal dalam memberantas KKN, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme, itu suatu yang gagal," tuturnya.
Menurutnya, dari ketiga permasalahan tersebut bisa menghambat Indonesia menjadi negara yang aman. "Negara masih saja menjadi korup, terus korupsi itu masuk, semakin nyata ketidakadilan, itu akan masuk juga. Kita tidak bisa membangun suatu negara yang aman kalau tidak ada adil," jelas Romo Magnis dengan penuh rasa prihatin.
Diantaranya, salah satu bukti kegagalan tersebut, kata Romo Magnis, adalah bagaimana tidak ada partai oposisi yang mewakili rakyat kecil. Sehingga ketika ada permasalahan, tidak ada tempat yang bisa menampung aspirasi rakyat. Ia pun juga menyoroti bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat yang akhir-akhir ini banyak melakukan revisi Undang-undang secara mendadak tanpa urgensi yang jelas. Tanpa melibatkan rakyat banyak, lantas posisinya sebagai wakil rakyat dipertanyakan.
"Kita lihat masih tinggal beberapa bulan, mereka memasukkan Undang-undang yang problematik. Tidak dibicarakan kepada publik, itu tidak beres. Itu berarti demokrasi kita akan habis, suatu pemerintah didukung oleh hampir seluruh partai, lalu eksekutif berarti bisa berbuat apa saja?" kata Romo Magnis yang sangat heran melihat kondisi tersebut.
"Bagi para kaum akademisi harus bicara, kalau merasa perlu bicara. Karena kita tidak bicara atas nama kepentingan sendiri, akan tetapi atas kepentingan Bangsa Indonesia," tuturnya.
Ia pun juga mengkritik partai politik yang seharusnya jadi aktor utama demokrasi, dengan menyuarakan suara orang-orang kecil. Tetapi justru malah membela kepentingan sendiri dan kelompoknya. Ia pun juga melihat, sudah sangat sedikit sekali partai yang membela kepentingan orang kecil.
Selain itu, Romo Magnis juga mengkritik organisasi masyarakat yang tidak memiliki keahlian mengelola tambang, tetapi justru menerima dengan senang hati. Organisasi Agama, misalnya, jelas tidak punya keahlian dalam mengelola tambang.
"Tentu saja ini berbahaya, karena seharusnya mereka menyuarakan dan membela nasib orang kecil. Tetapi, justru karena kebijakan itu dianggap benar, mereka lalu diam saja," katanya.
Romo Magnis pun bahkan menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya bagi Organisasi Keagamaan. Karena lama-lama menjadi mata duitan. Meskipun demikian. Ia sangat mengapresiasi Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang dengan tegas menolak pemberian IUP tersebut.
"Bagi kami, organisasi massa Katolik. Saya sangat senang, bahwa kami menolak ikut terlibat, dan Protestan menolak serta Muhammadiyah juga tidak ikut. Jadi, saya merasa sikap itu lebih masuk akal," ucapnya.
Di Desa-desa Pelosok Masih Banyak Masyarakat Yang Tidak Bisa Makan Enak
Kemudian, istri dari almarhum Nurcholish Madjid ini, yakni Omi Komaria Madjid juga menyampaikan keluh kesahnya dalam acara Diskusi Publik tersebut yang mengatakan bahwa, rasanya sudah frustasi dan lelah berbicara soal Republik ini. Sebab, penindakan hukum dilakukan secara tebang pilih, dan korupsi semakin hari justru semakin membesar. Di Desa-desa pelosok masih banyak masyarakat yang tidak bisa makan enak. Namun, korupsi, kolusi dan nepotisme justru terjadi di seluruh Republik ini.
"Indonesia sudah kehilangan spirit Republik, penyelenggara negara hanya melayani kepentingan sendiri, keluarga dan pribadi," katanya.
Omi pun mengkritik, bahwa Indonesia kini justru nyaris kehilangan ciri sebagai negara hukum sesuai prinsip rule of law. Arahnya, Indonesia justru berubah menjadi negara kekuasaan (rule by law).
Selain itu juga, kata Omi, karakter bangsa juga telah hilang. Dimana praktik politik dan kekuasaan ditempuh dengan menghalalkan segala cara. Tujuan apapun selalu mendapatkan justifikasi secara licik, sehingga kepantasan etik, gagasan dan moral diabaikan.
Namun, Omi menambahkan, saya masih ingat pesan dari Cak Nur, bahwa kita tidak boleh berputus asa. Karena kami yang akan mewarisi bangsa dan negara ini. Saya berdoa, mudah-mudahan pemerintahan baru bisa mengembalikan spirit dari Republik ini. (Red)
0 Komen